Beranda | Artikel
Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Masalah Khilafiyah
Senin, 7 Januari 2019

PRINSIP-PRINSIP DASAR AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MASALAH KHILAFIYAH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah-masalah khilafiyah ? Dan apakah batasan masalah-masalah tersebut ?

Jawaban
Prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah (adalah) bahwa perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad dan (masalah itu) termasuk masalah yang dibolehkan ijtihad di dalamnya, maka (hendaknya) satu dengan yang lain saling memaafkan dengan perbedaan tersebut. Hendaknya mereka tidak menjadikan perbedaan perbedaan ini termasuk dalam perbedaan yang mengakibatkan perpecahan dan permusuhan. Dan siapa yang menyelisihi saya sesuai dengan konsekwensi dalil maka pada hakikatnya dia tidaklah menyelisihi saya, karena manhaj tetap satu, baik saya yang menyelisihinya sesuai dengan konsekwensi dalil atau dia yang menyelisihi saya sesuai dengan konsekwensi dalil. Kalau begitu, maka kita sama. Dan perbedaan pendapat tetap ada dalam umat (ini) sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini.

Adapaun (masalah) yang tidak dibenarkan adanya khilaf adalah masalah yang menyelisihi perjalanan para sahabat dan tabi’in, seperti ; masalah-masalah aqidah orang-orang yang sesat. Dan waktu munculnya khilaf adalah setelah masa-masa yang mendapatkan keutamaan (Al-Quruun Al-Mufadhdhalah). Artinya khilaf belumlah tersebar dan meluas kecuali setelah Al-Quruun Al-Mufadhdhalah tersebut, walaupun sebagian khilaf dalam (masalah-masalah tersebut) terjadi di masa sahabat.

Namun harus diketahui jika kita katakan : (Setelah) masa sahabat, tidaklah itu berarti semua sahabat harus telah meninggal dunia, akan tetapi (yang dimaksud) adalah masa di saat tidak ada lagi ditemukan mayoritas para sahabat. Karena anda sekalian mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menjadikan ajal manusia itu saling susul menyusul. Misalnya jika kita katakan : Bahwa masa sahabat tidak berakhir kecuali bila tidak lagi tersisa satupun dari mereka, maka tentulah kita akan melewati begitu banyak dari masa tabi’in. Akan tetapu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Sesungguhnya suatu masa itu dihukumi selesai jika kebanyakan penghuninya telah tiada”. Maka apabila mayoritas sahabat –misalnya- telah tiada dan mereka tidak lagi tersisa mereka kecuali puluhan atau ratusan yang sedikit, maka ini berarti bahwa masa mereka telah berakhir, dan begitu pula dengan para tabi’in, serta demikian pula para pengikut mereka (atba’ At-Tabi’in) hingga masa kita ini.

Maka Al-Quruun Al-Mufadhdhalah telah selesai, dan tidak ditemukan adanya khilaf yang belakangan tersebar dalam masalah-masalah aqidah. Dan mereka yang menyelisihi kita dalam masalah aqidah (sebenarnya) mereka menyelisihi apa yang dijalani oleh para sahabat dan tabi’in, maka mereka itu harus diingkari dan tidak boleh diterima khilaf mereka.

Adapun masalah-masalah khilaf yang terdapat di masa sahabat, dan memungkinkan terjadi ijtihad di dalamnya maka tentulah khilaf ini akan tetap (ada). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

Apabila seorang hakim menetapkan hukum, berijtihad, lalu benar (dalam ijtihadnya) maka mendapatkan dua pahala, dan jika ia berijtihad lalu salah (dalam ijtihadnya) maka mendapatkan satu pahala[1]

Inilah batasannya. Jika ada yang mengatakan : Apakah khilaf tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat dibenarkan ? Maka kita katakan : Tidak, karena khilaf ini telah keluar dari manhaj para sahabat, sebab tidak pernah ada dua orang sahabat berselisih dalam masalah sifat Allah. Mereka semua meyakini sifat-sifat Allah itu benar sesuai dengan hakikatnya, tanpa (melakukan) tamtsil (permisalan). Dalil bahwa mereka meyakini hal tersebut adalah belum pernah ada khilaf di antara mereka dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang terdapat dalam masalah sifat-sifat (Allah). Maka apabila tidak terdapat khilaf di kalangan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat yang mulia atau hadits-hadits nabawi, maka ini berarti mereka berpegang pada yang demikian, karena Al-Qur’an adalah ‘Arabi (diturunkan dengan bahasa Arab,-pent) dan As-Sunnah juga disampaikan dengan bahasa Arab, sedang mereka mengetahui bahasa Arab.

Bila tidak terdapat dari mereka sesuatu yang menyelisihi zhahir ayat atau hadits, maka kita mengetahui bahwa mereka berpegang pada zhahir ayat dan hadits itu. Oleh karenanya, kita ingkari setiap orang yang mengatakan (berpendapat) yang menyelisihi madzhab As-Salaf dalam masalah sifat-sifat Allah. Atau jika anda ingin mengatakan : Dalam masalah iman seluruhnya ; iman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari Akhir serta Qadar yang baik maupun yang buruk, maka setiap orang yang menyelisihi apa yang dahulu dijalani oleh para sahabat dalam keenam perkara ini, maka kita pun mengingkarinya dan tidak mengakuinya.

[Disalin dari kitab Al-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Muhammad Ihsan Zainuddin, Penerbit Darul Haq]
__________
Footnote
[1] Hadits Riwayat Al-Bukhari No. 7353 dalam Kitab Al-I’thisham bab Ajrul Haakim Idza Ijthada Faashaba Auw Akhta’a, dan Muslim No. 1716 dalam Kitab Al-Uqdhiyah bab Bayaan Ajril Haakim Idza Ijtahada Faashaba Auw Akhta’a dari hadits ‘Amru Ibn Al-‘Ash Rasdhiyallahu ‘anhu.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/10727-prinsip-prinsip-ahlus-sunnah-wal-jamaah-dalam-masalah-khilafiyah.html